Sabtu, 28 April 2012

Gerakan Pemberontakan di Pasar Rebo, Jakarta Timur (1916)

Berbicara mengenai suatu gerakan yang berada di Indonesia tentu kita tak bisa lepas dari suatu kehidupan sosial itu sendiri. Berdirinya suatu gerakan memiliki berbagai sebab dan alasannya tersendiri. Apalagi Indonesia terkenal dengan berbagai macam kultur dan budaya di dalamnya. Berbagai gerakan yang pernah hadir di Indonesia selalu didasari oleh kesukuan, religi, dan status sosial karena terjadinya suatu komunitas atau gerakan tak bisa dtanpa adanya sikap etnosentrisme itu sendiri. Terlebih lagi adanya suatu sikap yang memberi pengaruh buruk dalam kehidupanya, seperti geraka-gerakan yang didasari oleh kenyataan kehidupannya yang mengalami suatu kemunduran. Dan gerakan atau organisasi tersebut berusaha untuk keluar dari belenggu tersebut menuju suatu yang damai sejahtera.
            Dalam hal ini penulis berusaha menyoroti sebuah gerakan yang berasal dari daerah penulis pribadi, yaitu tepatnya di daerah DKI Jakarta. Dimana di daerah tersebut pada masa kolonial atau saat pemerintah kolonial berkuasa, sempat muncul suatu gerakan yang didasari oleh keadaan masyarakat yang tertekan oleh kesewenang-wenangan tuan tanah dan juga pemerintah kolonial. Tepatnya di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Muncul suatu gerakan yang disebut dengan nama Gerakan Entong Gendut.
            Entong Gendut sendiri salah satu pendiri perguruan Silat Silau Macan di daerah Condet Jakarta Timur. Masa penjajahan Belanda di awal abad ke 20 merupakan masa-masa penuh kepahitan bagi rakyat yang hidup di salah satu daerah di Batavia, Condet. Rakyat, yang sebagian besar hidup sebagai petani dengan menggarap lahan dan kebun milik tuan tanah, senantiasa berada dalam kondisi tertindas akibat berbagai kebijakan pajak atau blasting produk penguasa kolonial yang memihak tuan tanah. Pajak sewa tanah tersebut harus dibayarkan oleh petani penggarap kepada tuan tanah setiap minggu dengan jumlah yang sangat  memberatkan bagi rakyat (25 sen). Konsekuensi bagi penduduk yang tak mampu membayar blasting adalah melakukan kerja paksa  berupa penggarapan sawah dan kebun tuan tanah atau aparat kolonial dalam jangka waktu sepekan.
            Kondisi obyektif demikian memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap penindasan sistem kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat berupa amarah, kebencian, bahkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan tuan tanah. Salah satu reaksi yang bernuansa kemarahan hingga akhirnya termanifestasi dalam suatu perlawanan ialah reaksi yang ditampilkan oleh Entong Gendut. Beliau adalah seorang tokoh pendekar yang juga kesohor dengan nama Haji Entong Gendut. Ia memobilisasi warga Condet yang merasakan kebencian serupa terhadap kolonialisme untuk melakukan perlawanan secara terbuka.
            Aksi perlawanan yang dilakukan Entong Gendut dan kelompoknya pertama kali ditunjukkan ketika pengadilan kolonial (landraad). Itu terjadi ketika landraad mengeksekusi putusannya yang menuntut seorang petani bernama Taba untuk membayar uang kepada tuan tanah sebesar 7.20 gulden pada bulan Maret 1916. Aparatur hukum kolonial memberikan peringatan pada Taba, agar patuh pada putusan tersebut jika tidak ingin harta benda miliknya disita pengadilan. Pada moment inilah kelompok Entong Gendut memaki-maki aparat pengadilan dengan kata-kata sarkastik. Perlawanan ini  memang lebih bercorak perlawanan verbal.
            Tepatnya pada hari Selasa tanggal 7 Maret 1916 Asisten Wedana Pasar Rebo dengan disertai Piroen, seorang polisi-mandor kampung Batuampar dan beberapa orang polisi, mendatangi rumah seorang penduduk kampug yang bernama Taba untuk melakukan eksekusi. Menurut keputusan Pengadilan Negeri Meester Cornelis barang-barang dan rumah Taba harus disita dan dijual karena hutang-hutangnya sebesar f 7.20.
            Ketika sedang dihalaman Taba, Asisten Wedana melihat kurang lebih 50 orang berkumpul setengah bersembunyi di kebun salak Djalmin yang letaknya tidak jauh dari rumah Taba. Di antara orang-orang itu hadir seorang yang bernama Entong Gendut, bersala dari Cililitan Besar. Asisten Wedana menanyakan mengapa mereka berkumpul, maka mereka mendapat jawaban bahwa mereka itu akan menghalang-halangi hamba- negara yang akan menjalankan tugasnya. Namun dari kelompok itu tidak ada yang mulai bertindak.[1]
            Perlawanan frontal dari Entong Gendut dan kawan-kawan terjadi pada 5 April 1916 di depan Villa Nova, milik seorang tuan tanah Eropa yang bernama Lady Rollinson. Lady Rollinson adalah seorang Eropa yang memiliki tanah dengan areal sangat luas di daerah Cililitan. Pada saat itu, kelompok Entong Gendut melempari mobil milik tuan tanah dari Tanjung Oost  bernama Ament yang sedang berkunjung ke rumah Lady Rollinson sebagai tamu undangan dalam pesta yang diselenggarakan sang Lady.
            Tak hanya sampai disitu, menjelang malam hari ketika pesta di villa Lady mencapai ‘klimaks’ nya, kelompok Entong Gendut membuat sabotase dan kerusuhan yang menyebabkan pesta tersebut berhenti. Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat keamanan Belanda di Batavia.
Berbagai upaya yang dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut pun dilakukan. Hingga akhirnya, Wedana dari Meester Cornelis dan pasukan polisi Belanda berhasil mengepung rumah Entong Gendut di daerah Batuampar pada pertengahan bulan April 1916. Entong Gendut  menghadapi Wedana dan pasukannya dengan membawa tombak, keris dan bendera merah berlambang bulan sabit putih. Sambil mengklaim bahwa dirinya adalah raja muda patihnya 8 orang, yaitu Ja, Tipis, Raidi, Sibi bni Jimin, Logod, Tipe, Gutar dan Usup. Majar dan Jaimin menjadi petugas mencari anggota baru: Talun menjadi mantri dan Gani menjadi sekretaris.[2] Ketika Wedana akan menangkap dengan paksa Entong Gendut berteriak memberi aba-aba. Karena teriakan itu keluar pengikut-pengikutnya dari tempat persembunyian dikebun salak yang terdapat di sekitar rumah Entong Gendut. Mereka semuanya bersenjata, jumlahnya kurang lebih 200 orang. Rombongan Wedana dan polisi kampung dikepung. Karena terancam rombongan Wedana dan polisi itu bubar menyelamatkan diri dan bersembunyi. Wedana yang bersembunyi akhirnya tertangkap dan ditawan oleh Entong Gendut.[3]
Pada jam 2.00b malam itu Residen menrima berita bahwa penangkapan Entong Gendut gagal. Wedana dan polis-polisinya melarikan diri karena dikepung oleh pemberontak. Bahkan Wedana tertawan. Setelah menerima berita kegagalan itu Asisten Residen minta bantuan tambahan kepada polisi dan minta kepada Residen agar juga minta bantuan militer. Asisten Residen selanjutnya datang sendiri ke tempat kerusuhan itu dengan membawa bantuan.
Kurang lebih pada jam 4.00 pada hari senin tanggal 10 dinihari Asisten Residen, Asisten Wedana Pasar Rebo dan pembesar-pembesar polisi beserta polisi-polisi sudah bersiap-siap di Condet. Jalan yang menuju ke tempat pemberontakan dijaga. Sementara itu Wedana sudah dilepaskan. Tidak lama kemudian tampak gerombolan Entong Gendut yang bergerak maju sambil menari dan mengucap Sabillillah. Mereka akan menyerang polisi yang sudah berjaga-jaga, tembakan-tembakan dilepaskan oleh polisi. Entong Gendut yang berdiri di depan terkena tembak dan jatuh terkulai. Pengikut-pengikutnya melarikan diri masuk kampung. Tidak lama kemudian dari arah kampung terdengar tembakan dan bunyi bedug di langgar yang bertalu-talu. Sementara itu pemberontak-pemberontak yang jatuh karena tembakan dan yang luka-luka berat diangkut ke rimahsakit., diantaranya Entong Gendut. Ia meninggal diperjalanan. Barisan militer yang didatangkan dari Meester Cornelis sudah tiba dan berjaga-jaga di jalan besar.[4]
Pada jam 9.00 pagi hari tanggal 10 suara tembakan dari kampung sudah tidak terdengar lagi. Pasukan polisi mulai bergerak menyerbu kampung. Setiap rumah digeledah dan penghuni laki-lakinya digiring ke luar dan dikumlpkan sebagai tawanan, karena menurut berita semua orang laki-laki di kampung Condet menjadi pengikut Entong Gendut dan ikut melakukan perlawanan. Banyak tawanan itu yang memakai jimat. Dengan matinya Entong Gendut dan ditawanya pengikut-pengikutnya itu, maka pemberontakan itu dapat dipatahkan sama sekali.[5]
Perlawanan yang dikerahkan oleh Entong Gendut dan para pengikutnya tak lain adalah usaha dalam mengembalikan hak para petani dan warganya terhadap sistem pajak dan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial dan tuan tanah terhadap penduduk. Meskipun terbilang frontal namun, Entong Gendut dan kolega tidak secra habis-habisan dalam menghukum pemerintah kolinal maupun antek-anteknya. Ini terbukti dia melepaskan kembali tawanannya kepada pemerintah kolonial meskipun dalam keadaan yang cukupu berbahaya. Entong Gendut pun tewas sebagai pengacau bagi penguasa kolonial, namun pahlawan bagi rakyat pribumi di Condet dan Batavia pada umumnya.














DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku dan dokumen :
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka
Berita Acara dibuat oleh Asisten Wedana Pasar Rebo, Meester Cornelis (R. Pringgodimedjo), 17 April 1916 (Arsip Nasional Republik Indonesia)
Laporan dari Asisten Residen Meester Cornelis (D. Heyting) tentang pemberontakan di tanah partikelir Tanjung Timur pada tanggal 9 dan 10 April 1916, 18 April 1916 (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Sumber internet :
http://berdikarionline.com/sisi-lain/historia/20111103/entong-gendut-pendekar-pejuang-kaum-tani.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_perguruan_silat
http://silatindonesia.com/2008/09/entong-gendut-pendekar-condet/
http://tyoo-smansa.blogspot.com/2010/04/perlawanan-petani.html



[1] Berita acara dibuat oleh Asisten Wedana Pasar Rebo, Meester Cornelis (R.Pringgodimedjo), 17 April 1916

[2] ibid

[3] Laporan dari Asisten Residen Meester Cornelis (D. Heyting) tentang pemberontakan di tanah partikelir Tanjung Timur pada tanggal 9 dan 10 April 1916, 18 April 1916


[4] Ibid

[5] Ibid


Entong Gendut

Bunga Di Genggaman Setan

Mata binar memancar sendu
Kosong pandangan dan pikiran
Mengingat semua di masa lalu
Suram dan merenggut semua
            Ketika dulu kala belia
            Ketika indah terasa diangan
            Dimana Martinah si Kembang Desa
            Hidup sempurna dengan cantiknya
Ketika gelap menyergap, seakan menerkam angan
Dimana bujuk rayu, jadi godaan
Tertarik ia pada semua kepalsuan
Masuklah bunga digenggaman setan     
Jauh dibawa, entah kemana
Jauh.. sangat jauh..
Terpisah sanak saudara
Sangat jauh..
            Diperantauan, dipaksa ia
            Diperlakukan layaknya sampah
            Direnggut kehormatannya
            Direnggut keperawannya
Hilang masa depannya…
Tentara jepang, tertawa riang
Martinah meringkuk, menangis pedih
Gelap pandang menjadi hitam
Tertindas oleh kekejaman
            Bertahun-tahun sudah menderita
            Kini aib jadi tanggungan
            Terasing dalam keramaian
            Terbuang dalam kehidupan
Bunga yang dulu indah
Kini layu, diam membisu…